Rabu, 01 Januari 2014

Rebo Wekasan, Misteri dan Mitos Hari Sial


1 Januari 2014 yang bertepatan dengan Rebo Wekasan dalam penaggalan Jawa yang sering juga dikaitkan dengan istilah Arba Mustamsir. Rebo Wekasan dalam kepercayaan Jawa menyebut pada hari Rabu terakir dalam bulan Sapar penanggalan Jawa (Shafar dalam penanggalan Islam). Di Madura terkenal Rebbuh Bekasen. Rebo Wekasan kemudian berkonotasi sebagai Hari Sial alias Hari Bala karena dikaitkan dengan kepercayaan bahwa Allah akan menurunkan bala ke dunia paling banyak di hari itu.

Dalam pandangan sebagian penganut Islam, hari tersebut disebut Arba’ Mustamir Di kalangan Nahdlatul Ulama (NU), organisasi massa Islam terbesar di Indonesia, pro kontra tentang Rebo Wekasan dan ritual yang mengikutinya telah menjadi pembahasan sejak tahun 1900-an, terbukti dengan adanya fatwa dari Kiai Hasyim Asya’ari, pendiri NU yang juga kakek Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, mantan Presiden Indonesia.

Berikut penjelasan Kiai Hasyim yang dipanggil dengan gelar Hadratus Syeikh ketika melakukan tanya jawab seperti dikutip jombang.nu.or.id: Syaikh Hasyim Asya’ari : “Ora wenang pituwah, ajak-ajak, lan nglakoni sholat Rebo Wekasan lan sholat hadiah kang kasebut ing su-al kerono sholat loro iku mau dudu sholat masyru’ah fis Syar’i lan ora ono asale fis syar’i”. (Tidak boleh memberi fatwa, mempromosikan, dan melakukan Salat Rebo Wekasan dan salat hadiah sebagaimana tersebut dalam pertanyaan, karena kedua salat tersebut bukan salat yang disyariatkan dalam syariat dan tidak ada asalnya dalam syariat)

Situs resmi NU, nu.or.id juga memajang penjelasan tentang Rebo Wekasan dan Arba’ Mustamir: Bulan Safar adalah bulan kedua dalam penanggalan hijriah Islam. Sebagaimana bulan lainnya, ia merupakan bulan dari bulan-bulan Allah yang tidak memiliki kehendak dan berjalan sesuai dengan apa yang Allah ciptakan untuknya.

Masyarakat jahiliyah kuno, termasuk bangsa Arab, sering mengatakan bahwa bulan Shafar adalah bulan sial. Tasa’um (anggapan sial) ini telah terkenal pada umat jahiliah dan sisa-sisanya masih ada di kalangkan muslimin hingga saat ini. Abu Hurairah berkata, bersabda Rasulullah, “Tidak ada wabah (yang menyebar dengan sendirinya tanpa kehendak Allah), tidak pula ramalan sial, tidak pula burung hantu dan juga tidak ada kesialan pada bulan Shafar.

Bila seorang muslim pikirannya disibukkan dengan perkara-perkara tersebut, maka tidak terlepas dari dua keadaan.

Pertama: menuruti perasaan sialnya itu dengan mendahulukan atau meresponsnya, maka ketika itu dia telah menggantungkan perbuatannya dengan sesuatu yang tidak ada hakikatnya.

Kedua: tidak menuruti perasaan sial itu dengan melanjutkan aktivitasnya dan tidak memedulikan, tetapi dalam hatinya membayang perasaan gundah atau waswas. Meskipun ini lebih ringan dari yang pertama, tetapi seharusnya tidak menuruti perasaan itu sama sekali dan hendaknya bersandar hanya kepada Allah. Penolakan akan ke empat hal di atas bukanlah menolak keberadaannya, karena kenyataanya hal itu memang ada. Sebenarnya yang ditolak adalah pengaruhnya. Allah-lah yang memberi pengaruh. Selama sebabnya adalah sesuatu yang dimaklumi, maka sebab itu adalah benar. Tapi bila sebabnya adalah sesuatu yang hanya ilusi, maka sebab tersebut salah.

Muktamar NU yang ketiga, menjawab pertanyaan “bolehkah berkeyakinan terhadap hari naas, misalnya hari ketiga atau hari keempat pada tiap-tiap bulan, sebagaimana tercantum dalam kitab Lathaiful Akbar” memilih pendapat yang tidak mempercayai hari naas dengan mengutip pandangan Syekh Ibnu Hajar al-Haitamy dalam Al-Fatawa al-Haditsiyah berikut ini: “Barangsiapa bertanya tentang hari sial dan sebagainya untuk diikuti bukan untuk ditinggalkan dan memilih apa yang harus dikerjakan serta mengetahui keburukannya, semua itu merupakan perilaku orang Yahudi dan bukan petunjuk orang Islam yang bertawakal kepada Sang Maha Penciptanya, tidak berdasarkan hitung-hitungan dan terhadap Tuhannya selalu bertawakal. Dan apa yang dikutip tentang hari-hari nestapa dari sahabat Ali kw. Adalah batil dan dusta serta tidak ada dasarnya sama sekali, maka berhati-hatilah dari semua itu” (Ahkamul Fuqaha’, 2010: 54).

Untuk mengetahui penjelasan lanjut tentang Rebo Wekasan dan Arba’ Mustamir silakan mengakses nu.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar